Selasa, 15 Desember 2009

"HISTORY PAJAK"

SEJARAH PAJAK

A. SEJARAH PAJAK SECARA UMUM
Sejarah umat manusia, sangat kental dengan masalah perpajakan. Konon kabarnya sejarah pajak tercipta karena kebutuhan manusia untuk hidup berkelompok karena ketergantungan satu sama lain. Cara hidup seperti ini menciptakan negara dan karenanya dibutuhkan sumber-sumber untuk membiayai pengeluaran bersama terutama perang, waktu itu mereka memang senang sekali berperang.

1) Mesir
Sepanjang yang diketahui oleh manusia modern, sejarah pajak dimulai dari Mesir. Selama beberapa periode pemerintahan Fir’aun, pemungut pajak dikenal dengan nama Scribes. Selama periode Scribe mengenakan pajak atas minyak goreng. Untuk memastikan bahwa warga masyarakat tidak berusaha menghindari pajak minyak goreng, Scribe akan melakukan “audit” terhadap rumah tangga untuk memastikan jumlah minyak goreng yang dikonsumsi dan bahwa pajak tidak dikenakan terhadap minyak goreng yang bekas pakai. Jangan berharap bahwa proses audit yang dilakukan sama seperti yang kita kenal sekarang. Pastinya bagaimana, mungkin hanya antropolog dan sejarawan yang tahu.

2) Yunani
Pada masa-masa perang bangsa Athena dikenai pajak Eisphora yang digunakan untuk membiayai perang. Tak ada seorangpun yang lolos alias memperoleh fasilitas pembebasan dari pajak ini. Warga bisa meminta pengembalian pajak (restitusi) pada saat perang usai yang dananya dicari fiskus dari sumber tambahan lain. Tidak ada informasi resmi yang menyebutkan apakah restitusi juga berlaku jika perang diakhiri dengan kekalahan bangsa Athena sendiri. Selain itu bangsa Athena juga dikenai Pajak Suara atau toll tax setiap bulan yang dikenal dengan nama Metoikion. Pajak ini wajib dikenakan terhadap Wajib Pajak Luar Negeri, yaitu mereka yang ibu dan bapaknya bukan orang Athena, besarnya satu Drachma (mata uang mereka) untuk laki-laki dan setengah Drachma untuk wanita.

3) Romawi
Pajak yang pertama diperkenalkan di Roma adalah Bea Pabean atas impor dan ekspor yang disebut Portoria. Kaisar Augustus dianggap sebagai ahli strategi pajak dalam Kekaisaran Roma. Dalam masa pemerintahannya, jabatan Publicani, pemungut pajak, sebagai pemungut pajak pemerintah pusat dihapuskan. Selama periode ini kota Roma diberi kekuasaan untuk memungut pajak. Kaisar Augustus menetapkan Pajak Warisan untuk menyediakan Dana Pensiun bagi militer. Pajak ini besarnya 5% atas semua warisan kecuali atas pemberian untuk anak-anak dan pasangan. Inggris dan Belanda mengacu kepada Pajak Warisan ciptaan Augustus ini dalam mengembangkan Pajak Warisan. Selama zaman Julius Caesar ada Pajak Penjualan yang dikenakan sebesar 1 persen atas penjualan. Khusus untuk penjualan budak dikenai 4 persen.

Pada tahun 60 SM, Boadicea, ratu Anglia Timur memimpin revolusi terhadap korupsi yang dilakukan pemungut pajak di British Isles. Revolusi ini menyebabkan terbunuhnya semua tentara Romawi dalam radius 100 mil yang ditangkapi di London. Lebih dari 80.000 orang terbunuh selama revolusi ini. Ratu Boadicea mengerahkan tentara sebanyak 230.000 orang. Revolusi ini berhasil dipatahkan oleh Kaisar Nero dan menyebabkan penunjukan pemerintahan untuk British Isles.

Dalam sejarah pajak dikenal beberapa istilah perpajakan kuno seperti:
a. Aids
Pada zaman feodal, Aids adalah sejenis pajak yang dibayarkan kepada Tuan Tanah atau Raja Kecil. Di Inggris, Aids disebut-sebut dalam piagam Magna Carta (1215 M). Aids hanya dibayarkan pada saat anak lelaki tertua dari Tuan Tanah menjadi ksatria (knight) atau anak perempuan tertua dari Tuan Tanah melangsungkan perkawinan. Aids juga dibayarkan untuk tebusan bagi majikan yang tertawan oleh pihak musuh.

b. Danegeld
Danegeld adalah pajak atas tanah pada abad pertengahan yang dipungut untuk membiayai serangan terhadap Denmark yang kemudian digunakan untuk membiayai pengeluaran militer. Tribute pertama kali dikenakan di Inggris pada tahun 868 M dan kemudian pada tahun 871 M. Di bawah kepemimpinan Aethelred (978-1016 M) Tribute menjadi pajak rutin sampai diganti lagi pada masa William the Conqueror. Tarif pajaknya dua Shilling untuk setiap tanah simpanan yang luasnya 100-120 are.

c. Scutage
Pajak feodal dibayar di tempat pemberian jasa angkatan darat. Magna Carta (1215) pasal 12 khususnya menyatakan bahwa tidak ada scutage atau bantuan yang dikenakan atas kerajaan kecuali oleh persetujuan umum. Pengecualian meliputi uang pembebasan bagi raja yang melawan anak laki-laki tertua raja dan menikahi anak perempuan tertua raja. Dalam semua hal scutage atau bantuan adalah beralasan.

d. Tallage
Mirip dengan Aids. Di Inggris pajak ini menggantikan Danegeld. Pajak ini dipungut Raja dan Tuan Tanah. Zaman Raja Edward III sekitar tahun 1340 M pajak ini dihapuskan. Di Perancis kalangan atas masyarakat yang disebut dengan Taille dibebaskan dari pajak ini. Subyek pemungutan dijatuhkan ke petani.

e. Carucate
Menggantikan Danegeld dan hanya dikenakan terhadap tanah pertanian yang dibajak.

f. Tax Farming
Adalah prinsip pelimpahan tanggung jawab pemungutan pajak kepada sekelompok masyarakat. Cara ini diterapkan di banyak peradaban seperti Mesir, Romawi, Inggris, dan Yunani. Dalam prakteknya, kelompok ini lebih banyak menyengsarakan rakyat banyak. Salah satu yang paling parah adalah pejabat Publicani di Romawi. Pada masa itu pemungutan pajak di Mesir sebenarnya sudah cukup efektif. Akan tetapi hal ini berubah sejak diterapkannya konsep aturan Ptolemies yang berasal dari yunani. Aturan ini diterapkan dalam rangka mengawasi pembayar pajak dan pemungut pajak pemerintah agar para Scribes tidak meringankan pajak yang harus ditanggung oleh orang miskin dan kaum lemah. Inilah ciri-ciri dari suatu zaman yang disebut dengan zaman feodal.

4) Inggris
Pajak pertama kali dikenakan di Inggris pada waktu pendudukan Kekaisaran Roma. Pada masa itu ada Lady Godiva yang sangat terkenal. Ia adalah seorang wanita Anglo-Saxon yang tinggal di Inggris pada abad ke 11 masehi. Menurut cerita, suaminya, Earl of Mercia, berjanji untuk mengurangi pajak yang tinggi terhadap penduduk kota Coventry karena tekanan Lady Godiva yang mengancam akan berkeliling kota tanpa sehelai benangpun di tubuhnya, karena hal inilah Lady Godiva terkenal sampai sekarang.

5) Amerika
Bicara tentang sejarah pajak modern, kita tidak bisa lepas dari sejarah pajak di Amerika. Rakyat pada abad 17-an membayar pajak berdasarkan Molasses Act. Tahun 1764 M peraturan ini diubah dengan memasukkan bea import atas gula sirup, gula, bir dan komoditi lain. Peraturan baru ini dikenal sebagai Sugar Act. Karena Sugar Act tidak menaikkan jumlah penerimaan, maka diberlakukanlah Stamp Act pada tahun 1765 M. Stamp Act mengenakan pajak langsung atas surat kabar dan dokumen-dokumen hukum serta komersial.

B. SEJARAH PAJAK PENGHASILAN

Pengenaan pajak langsung sebagai cikal bakal dari pajak penghasilan sudah terdapat pada zaman Romawi Kuno, antara lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku sampai dengan tahun 167 Sebelum Masehi. Pengenaan pajak pajak penghasilan secara eksplisit yang diatur dalam suatu Undang-undang sebagai Income Tax baru dapat ditemukan di Inggris pada tahun 1799. Di Amerika Serikat, pajak penghasilan untuk pertama kali dikenal di New Plymouth pada tahun 1643, dimana dasar pengenaan pajak adalah " a person's faculty, personal faculties and abilitites". Pada tahun 1646 di Massachusett dasar pengenaan pajak didasarkan pada "returns and gain". “Tersonal faculty and abilities" secara implisit adalah pengenaan pajak pengahasilan atas orang pribadi, sedangkan "Returns and gain" berkonotasi pada pajak penghasilan badan. Tonggak-tonggak penting dalam sejarah pajak di Amerika Serikat adalah Undang-Undang Pajak Federal tahun 1861 yang selanjutnya telah beberapa kali mengalami tax reform, terakhir dengan Tax Reform Act tahun 1986. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (tax return) yang dibuat pada tahun 1860-an berdasarkan Undang-Undang Pajak Federal tersebut telah dipergunakan sampai dengan tahun 1962.

 Pajak Penghasilan di Indonesia
Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tuhun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan orang Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti “patent duty”. sebaliknya business tax atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 sampai tahun 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah.
Pada tahun 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu.
Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General Income Tax yakni Ordonansi Pajak Pendapatan Yang Dibaharui tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi Pajak Pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas sumber.
Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan (ondememing), pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan tethadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan UU No. 8 tahun 1967 tentang Psnibahan dan Penyempurnaan Tatacara Pcmungiitan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktck lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah dengan UU No. 8 tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs 1925., khususnya tentang ketentuan “tax holiday”. Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat diadakannya tax reform, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia; kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia; Ordonansi ini juga telah mengenal asas sumber dan asas domisili.
Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diperlakukan Oorlogsbelasting (Pajak Perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan UU Nomor 21 tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. Saja. Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan “UU MPO dan MPS”. Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya tax reform di Indonesia.

Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang “pajak” yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah :
1) Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
2) Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
3) Menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
C. DASAR HUKUM PAJAK

Dalam hal pemungutan pajak, undang-undang dasar 1945 menentukan pada pasal 23 a yang ,menyebutkan bahwa:’pajak & pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang, ketentuan undang-undang dibidang pajak diantaranya:
1. Undang-undang nomor 16 tahun 2000 tentang ketentuan umum & tata cara perpajakan.
2. Undang –undang nomor 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan.
3. Undang-undang nomor 18 tahun 2000 tentang pajak pertambahan nilai atas barang & jasa serta pajak penjualan atas barang mewah.
4. Undang-undang nomor 12 tahun 2000 tentang pajak bumi & bangunan.
5. Undang-undang nomor 13 tahun 1985 tentang bea materai.
6. Undang-undang nomor 17 tahun 1997 tentang badan penyelesaian sengketa pajak
7. Undang-undang nomor 34 tahun 2000 tentang pajak daerah & retribusi daerah.
8. Undang-undang nomor 19 tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa.
9. Undang-undang nomor 20 tahun 2000 tentang bea perolehan hak atas dan/ bangunan.

D. PENAFSIRAN PERATURAN PAJAK

Masalah penafsiran peraturan perpajakan tidak dapat dihindari, terutama jika menghadapi permasalahan yang belum ada aturannya atau ada aturan pajaknya, tetapi tidak atau kurang jelas. Lalu tafsiran pihak mana yang paling kuat? Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran peraturan perpajakan yang mengakibatkan sengketa perpajakan, maka hakim badan peradilan pajaklah yang akan memutuskan. Oleh karena itu seharusnya putusan-putusan badan peradilan pajak seharusnya dapat digunakan sebagai yurisprudensi di lapangan.
Untuk menafsirkan peraturan perpajakan seseorang tidak dapat hanya memperhatikan redaksinya saja. Peraturan yang kredibel adalah peraturan yang tidak menimbulkan multi tafsir sehingga dapat memberikan kepastian hukum. Berikut ini cara-cara penafsiran peraturan perpajakan yang disusun berdasarkan kekuatan hukumnya.
1. Tafsiran Otentik
Yaitu penafsiran peraturan dengan melihat maksud si perumus undang-undang atau peraturan itu sendiri. Dalam hal ini peraturan sudah memberikan definisi-definisi yang biasanya dijelaskan pada Pasal 1 yang berkaitan dengan pengertian-pengertian. Istilah-istilah tertentu yang dianggap penting sering diberikan definisi secara khusus, namun demikian dalam praktek tidak semua peraturan menjelaskan mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan itu sendiri.
Tafsiran yang ada di dalam memori penjelasan undang-undang seringkali masih bisa diperdebatkan di muka pengadilan. Demikian juga tafsiran yang dilakukan oleh fiskus maupun Wajib Pajak tidak mengikat bagi pihak lainnya.

2. Tafsiran Sistematis
Yaitu penafsiran peraturan perpajakan dengan memperhatikan peraturan-peraturan lain yang terkait yang masih berhubungan. Hukum perpajakan yang terdiri dari undang-undang sampai dengan Keputusan Dirjen Pajak sebenarnya merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan secara logis sehingga penafsirannya harus dikaitkan antara peraturan yang satu dengan lainnya. Oleh karena itu pemahaman seorang fiskus atau Wajib Pajak akan sangat ditentukan oleh penguasaannya di bidang perpajakan. Pengetahuan mengenai ilmu akuntansi dan ilmu hukum akan sangat membantu dalam melakukan penafsiran undang-undang.
3. Tafsiran Historis
Yaitu penafsiran undang-undang dengan melihat pada kronologis atau sejarah dibuatkan undang-undang tersebut dikaitkan dengan perkembangan hukum secara umum atau yang masih ada hubungannya. Akan lebih baik lagi kalau dalam menafsirkan secara historis diperoleh juga draft RUU, risalah rapat para pembuat undang-undang, memori penjelasan umum dan pasal per pasal, jawaban pemerintah kepada DPR, notulen sidang komisi dan sebagainya. Dengan memahami dokumen-dokumen tersebut, maka akan diketahui asbabun nuzul dari suatu aturan perpajakan. Hukum pajak memiliki kontinuitas yang memiliki sejarah perkembangannya dan tidak datang sekonyong-konyong. Oleh karena itu suatu aturan perpajakan harus bisa dipahami sejarah perkembangannya sampai saat ini.

4. Tafsiran Sosiologis
Yaitu penafsiran aturan perpajakan yang dikaitkan perkembangan dan dinamika yang terjadi di masyarakat. Seperti kita ketahui bersama bahwa masyarakat akan mengalami perkembangan yang sangat dinamis, sementara hukum tertulis tidak bisa berubah setiap saat. Oleh karena itu hakim sebagai pelaksana undang-undang perlu melakukan penyesuaian antara undang-undang dengan perkembangan masyarakat. Penyesuaian ini dimaksudkan untuk lebih memberikan rasa keadilan bagi masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisinya. Penafsiran sosiologis diharapkan dapat membentuk perilaku tertentu di masyarakat. Namun demikian jangan sampai hakim badan peradilan pajak menafsirkan undang-undang secara subyektif sehingga justru menimbulkan ketidakadilan.

5. Tafsiran Gramatikal
Yaitu merupakan cara penafsiran undang-undang yang didasarkan pada tata bahasa yang terdiri dari rangkaian kata yang membentuk kalimat yang disusun oleh pembuat undang-undang. Tafsiran ini lebih didasarkan pada arti dari masing-masing kata yang membentuk kalimat dalam undang-undang. Pandangan para ahli hukum atas tafsiran gramatikal ini cukup bervariasi. Sebagian ahli hukum mengatakan bahwa tafsiran gramatikal ini merupakan tafsiran yang paling utama, artinya jika kata-kata undang-undang sudah cukup jelas, maka hakim tidak boleh menyimpang dari kata-kata undang-undang, meskipun maksud dari pembuat undang-undang tidak sama dengan arti kata-kata tersebut.
Sebagian ahli hukum lain menyatakan bahwa penafsiran gramatikal memiliki kedudukan yang lemah karena arti kata-kata dalam undang-undang bisa berbeda antara orang yang satu dengan lainnya. Oleh karena itu penafsiran peraturan perpajakan sebaiknya dicari cara penafsiran mana yang paling tepat.

6. Tafsiran Analogis
Yaitu penafsiran atas suatu peraturan dengan cara memperluas cakupan peraturan tersebut ke permasalahan yang sejenis atau setara atau analog yang tidak ada aturannya secara spesifik. Penafsiran cara ini akan cenderung bersifat ekstensif karena akan memperluas arti suatu peraturan.
Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, SH dalam bukunya Asas dan Dasar Perpajakan, cara penafsiran analog ini dalam hukum pajak tidak bisa diterapkan karena bila cara ini diterapkan, maka akan memberi suatu akibat yang berbahaya yaitu pajak akan diperluas hingga obyek yang semula tidak kena pajak. Akibatnya Wajib Pajak dirugikan dan menjadikan tidak adanya kepastian hukum.

7. Tafsiran a Contrario
Yaitu penafsiran suatu peraturan perpajakan dengan mendasarkan pada kebalikan atau perlawanan pengertian suatu masalah yang belum diatur dengan persoalan yang diatur secara tegas dalam ketentuan perpajakan. Cara berpikir yang digunakan adalah secara terbalik. Misalnya dalam menentukan perlakuan perpajakan atas iuran pensiun kepada dana pensiun yang belum disetujui oleh Menteri Keuangan. Dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-545/PJ./2000 jo PER-15/PJ/2006 diatur mengenai perlakuan iuran pensiun kepada dana pensiun yang sudah disahkan oleh Menteri Keuangan, tetapi tidak diatur mengenai perlakuan perpajakan iuran pensiun kepada dana pensiun yang belum disahkan Menteri Keuangan. Jika menggunakan penafsiran secara a contrario, maka perlakuan perpajakan iuran pensiun kepada dana pensiun yang belum atau tidak disahkan oleh Menteri Keuangan adalah sama dengan perlakuan perpajakan atas premi asuransi.

Penafsiran peraturan perpajakan sebenarnya boleh dilakukan oleh siapapun, tetapi penafsiran tersebut bersifat tidak mengikat. Penafsiran yang mengikat adalah penafsiran otentik menurut undang-undang dan tafsiran hakim peradilan pajak dalam hal terjadi sengketa pajak antara Wajib Pajak dengan fiskus.














SUMBER

konsultan-pajak.co.cc aris-aviantara.co.cc aris-aviantara.blogspot aviantara.multiply softindo-exac softindo.wordpress

http://wijiraharjo.wordpress.com/2007/12/10/sejarah-perpajakan-indonesia-indonesian-tax-history/

Pengantar Hukum Pajak. Y. Sri Pudjatmoko, SH. M. Hum. Andi Press. Yogyakarta. 2005

Pajak Bumi dan Bangunan. Rochmat Sumitro. PT. Eresco. Bandung 1990

Mardiasmo. 2006. Perpajakan. Yogyakarta: Andi Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar